Pada beberapa pekan sekali aku bertemu monster dan harus menyerahkan diri.
Tidak boleh melawan, tepatnya tidak punya kuasa juga.
Biasanya sebelum datang dan bertemu muka, sakit-sakit muncul di kening, dada, punggung, aku juga jadi lebih mudah menangis — meski biasanya juga tidak sulit asalkan sendirian.
Hal-hal yang biasanya tidak membuat menangis, entah kenapa membuat tercekat di hari-hari mendekati waktunya bertemu.
Monster yang tiap bulan kutemui sejak umur 12 tahun itu, mengingatkanku bahwa kadang ada hari-hari di mana segala hal yang menyakitkan harus ditanggung kaumku.
Tak spesial, sejak umur 12 sudah terasa sakit, dekade demi dekade berlalu kini sakitnya menebal sendiri, tak lagi ingin memakanku hidup-hidup.
Namun, tetap seolah ada yang mengamuk dan porak poranda di dalam sana.
Membuatku sulit tidur, kadang berguling ke kanan dan ke kiri. Jika terlalu lelah baru bisa tertidur, mungkin dengan mendengarkan suara hujan atau kendaraan yang lalu lalang seolah di dunia ini cuma ada mereka saja.
Bertemu monster harusnya tidak spesial, namun tiap bulan rasanya ingin berbincang tentang rasa kebas di perut, nyeri di dada, berat di kepala, rasa lapar seolah ingin makan semua hal yang dilihat.
Mungkin monster itu ingin merubahku jadi monster juga — dengan banyak kali percobaan gagal, karena yang kulakukan hanya terpaku pada rutinitas yang itu-itu lagi.
Bekerja, menyambung hidup, tidur untuk memulai hari yang baru besok hari.
Ya, besok sudah senin lagi.